BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring
dengan laju dinamika zaman, Islam telah menunjukkan perkembangan yang sangat
pesat dalam berbagai aspek kehidupan terutama dalam bidang pengetahuan.
Hukum-hukum Islam pun turut andil andil dalam perkembangan tersebut. Hal ini
terlihat dari banyaknya masalah-masalah kontemporer yang banyak mencuat.
Al-Qur’an
sebagai sumber utama hukum Islam tidak berdiri sendiri dalam memecahkan
persoalan-persoalan kehidupan. Al-Sunnah dan Ijtihad adalah rujukan yang siap
menyokong Al-Qur’an dalam menentukan hukum. Kedudukan Al-Sunnah dan Ijtihad
adalah berada di bawah Al-Qur’an dalam tugasnya sebagai acuan rujukan hukum.
Kita
menyadari bahwa dalam beberapa abad ini ilmu pengetahuan Islam dapat di katakan
lebih bersifat mekanis dan semantik daripada interpretatif atau ilmiah maka
betapapun kecil bersahajanya perjuangan kita adalah untuk mencairkan kebekuan
di dalam dunia pemikiran Islam baik religius maupun moral.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penulisan
ini adalah:
1.
Apakah
Fungsi Alqur’an ?
2.
Apakah
fungsi hadits dan unsur-unsur Hadits ?
3.
Apa
pengertian Ijtihad ?
4.
Apakah
dasar-dasr Ijtihad serta syarat Mujtahid ?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah:
1.
Mempelajari
sumber-sumber ajaran Islam
2.
Mningkatkan
kemampuan penulisan karya Ilmiah
3.
Sebagai
salah satu syarat kelulusan mata kuliah Agama III
BAB II
PEMBAHASAN
A. Alqur’an
1.
Fungsi Alqur’an
Alqur’an diturunkan oleh Allah swt merupakan adalah
untuk kepentingan manusia , membimbing manusia ke jalanyang lurus ,
yang benar dan jalan yg diberkahi bukan jalan orang yang dimurkai.Alqur’an
sebagai pedoman hidup bagi manusia agar manusia mau menjalani hidup ini dengan
aturan -aturan yang diberikan Allah bukan aturan – aturan yang dibuat
berdasarkan hawa nafsu manusia. Allah berfirman dalam surat Ibrahim ayat 1
dan surat Al Baqarah ayat 185 . yang dapat diambil kesimpulan bahwa
fungsi Al qur’an adalah sebagai berikut ;
a.
Al qur’an sebagai petunjuk (Al-Huda) bagi manusia ;
maksudnya menjadi bimbingan dan pimpinan pada umat manusia degan jalan
memberi kecerdasan dan ilmu pengetahuan , mencari kebenaran . Dan dengan ilmu
pengetahuan itu kita dapat mencari kebenaran.
b.
Al qur’an sebagai sumber
informasi yang jelas ; maksudnya memberikan informasi – informasi ,
keterangan – keterangan , dalil -dalil , penjelasan secara terperenci tentang
makna bimbingan itu . Diantaranya batas – batas yang ditentukan oleh Allah ,
kewajiban yang diperintahkan oleh Allah , kisah – kisah yang terjadi pada masa
lampau supaya kita dapat mengambil informasi yang kebenarannya mutlak atau
tidak diragukan lagi.[1]
c.
Alqur’an sebagai pembeda/pemisah
(Al-Furqon)
antara yang hak dengan bathil ; maksudnya sebagai pembeda yang benar dengan
yang salah. Allah berfirman, “Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkannya
Al-Qur’an yang berfungsi sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan
yang batil) … (QS Al-Baqaroh [2] : 185).
d.
Al-Qur’an dikatakan bahwa ia
berfungsi sebagai obat (Al-Syifa) bagi penyakit yang ada di dalam dada (mungkin yang
dimaksud disini adalah penyakit psikologis). Allah berfiman, “Hai manusia
sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh dari
penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada…”(QS Yunus [10] : 57).
e.
Dalam Al-Qur’an dikatakan bahwa ia
berfungsi sebagai nasehat (Al Mau’idzoh) bagi orang-orang bertaqwa. Allah berfirman, “Al-Qur’an
ini adalah penerangan bagi seluruh manusia dan petunjuk serta pelajaran bagi
orang-orang bertaqwa” (QS Ali-Imron [3]: 138)[2]
Yang harui kita pahami , bahwa Al
qur’an bukan hanya surat Yasin saja , tetapi Al qur’an itu terdiri dar 6236
ayat , 114 surat dan 30 Juz.Tidak ada tuntunan kita untuk hanya mempelajari
atau membaca surat yasin saja, tetapi bacalah Al qur;an secara keseluruhan.
2.
Alqur’an sebagai
Firman Allah
Alquran
adalah firman Allah, dan yang demikian merupakan sifat abadi abadi dari Dzat
Allah. Karena umat manusia tidak mampu sepenuhnya memahami sifat-sifat Allah,
bagaimana mungkin bagi mereka memahami makna Alqur’an. Hujjatul Islam al-Imam
Ghazaly r.a (505/1111) membahas persoalan ini dalam Kitab Adab Tilawah
al-Qur-an (aturan untuk pembacaan Alquran, delapan kitab dari
jilid pertama Ihya’ ‘Ulum adDiin.
Seorang
pembaca AlQur’an hendaknya memikirkan bagaimana Allah menunjukan kebaikan
kepada terhadap umat manusia dalam menyampaikan kepada pemahaman mereka makna
makna firman-Nya, yang merupakat sifat abadi yang bersemayam dalam Dzat-Nya.
Seorang pembaca AlQur’an juga hendakna memikirkan bagaimana sifat itu
diungkapkan kepada umat manusia di bawah selimut huruf dan sura yang merupakan
sifat manusia, karena umat manusia tidak mampu sampai kepada pemahaman sifat
sifat Allah kecuali melalui sifat sifat mereka sendiri. Jika dzat (kunhi)
kemahakuasaan firman-Nya tidak disembunyikan di bawah jubah huruf, tiada tahta
ataupun tanah masih bisa berdiri tegak ketika mendengar firman-Nya, dan semua
yang berada di antara keduanya akan tereduksi menjadi hampa karena kebesaran
otoritas-Nya dan kemahakuasaan cahaya-Nya Jika Allah belum menguatkan nabi
Musa, dia tidak akan mampu bertahan menahan permulaan perwujudan-Nya, sehingga
menjadi rata dengan tanah. Sungguh mustahil untuk membuat kebesaran firman-Nya
yang tidak mampu dipahami umat manusia kecuali melalui contoh contoh pada
tingkat pemahaman mereka.
Hal penting yang perlu di ingat adalah Alqur’an
ini tidak ada keraguan di dalamnya, seperti Firman Allah:
“Kitab (Alqur’an) ini tidak ada keraguan padanya,
petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”[3]
B. Hadits
1.
Posisi dan
Fungsi Hadits
Ahli naql dan
ahli ‘aql dalam islam telah berijma’ bahwa al-hadits (as-sunnah) dasar bagi
hukum-hukum islam, dan umat islam diperintahkan untuk mengikuti al-hadits (as-sunnah).
Banyak
sekali ayat-ayat Al-Quran yang memberikan pengertian untuk As-sunnah
(Al-Hadits), diantaranya surat Al-Hasyr Ayat 7 yang artinya: ”Dan apa yang
didatangkan Rasul, ambil olehmu dan apa yang dilarang Rasul bagimu,
hentikanlah....”.
Di samping itu
Rasulullah saw pun menegaskan dalam sabdanya: “Telah aku tinggalkan dua pusaka
bagi kamu sekalian yang kamu tidak akan tersesat selamanya jika kamu berpegang
teguh kepada keduanya, kitab Allah dan Sunnahku”.
Posisi Hadits
adalah sumber hukum kedua setelah Firman Allah SWT (Alqur’an).
2.
Unsur-unsur
Hadits
Unsur-unsur
hadits adalah sebagai berikut:
a.
Sanad
Secara bahasa,
sanad berasal dari kata سند yang berarti انضمام الشيئ الى الشيئ (penggabungan
sesuatu ke sesuatu yang lain)[1], karena di dalamnya tersusun banyak nama yang
tergabung dalam satu rentetan jalan. Bisa juga berarti المعتمد (pegangan).
Dinamakan demikian karena hadis merupakan sesuatu yang menjadi sandaran dan
pegangan[2].
Sementara
termenologi, sanad adalah jalan yang dapat menghubungkan matan hadis sampai
kepada Nabi Muhammad saw. Dengan kata lain, sanad adalah rentetan perawi-perawi
(beberapa orang) yang sampai kepada matan hadis.[3]
Berikut adalah
contoh sanad:
“Al-Humaidi>
ibn al-Zubair telah menceritakan kepada kami seraya berkata Sufya>n telah
mmenceritakan kepada kami seraya berkata Yahya> ibn Sa’i>d
al-Ans}a>ri> telah menceritakan kepada kami seraya berkata Muhammad ibn
Ibra>hi>m al-Taimi telah memberitakan kepada saya bahwa dia mendengar
‘Alqamah ibn Waqqa>s{ al-Lais|i> berkata “saya mendengar Umar ibn
al-Khat}t}a>b ra berkata di atas mimbar “Saya mendengar Rasulullah saw.
bersabda…
b.
Matan
Matan, berasal
dari bahasa Arab yang terdiri dari huruf ن ت م- - Matan memiliki makna
“punggung jalan” atau bagian tanah yang keras dan menonjol ke atas.[4] Apabila
dirangkai menjadi kalimat matan al-hads maka defenisinya adalah: “Kata-kata
hadis yang dengannya terbentuk makna-makna”.
Adapun matan
hadis itu terdiri dari dua elemen yaitu teks atau lafal dan makna (konsep),
sehingga unsur-unsur yang harus dipenuhi oleh suatu matan hadis yang sahih
yaitu terhindar dari sya>z| dan ’illat.
Contohnya:
“Amal-amal
perbuatan itu hanya tergantung niatnya dan setipa orang akan mendapatkan apa
yang dia niatkan. Barangsiapa yang hijrah karena untuk mendapatkan dunia atau
karena perempuan yang akan dinikahinya maka hijrahnya (akan mendapatkan) sesuai
dengan tujuan hijrahnya…
c.
Rawi
Kata perawi atau
al-ra>wi> dalam bahasa Arab dari kata riwayat yang berarti memindahkan
atau menukilkan, yakni memindahkan suatu berita dari seseoarang kepada orang
lain.[7] Dalam istilah hadis, al-ra>wi> adalah orang yang meriwayatkan
hadis dari seorang guru kepada orang lain yang tercantum dalam buku hadis.[8]
Jadi, nama-nama yang terdapat dalam sanad disebut rawi.
Sebenarnya antara
rawi dan sanad merupakan dua istilah yang tidak dapat dipisahkan karena sanad
hadis pada setiap generasi terdiri dari beberapa perawi.[9] Singkatnya sanad
itu lebih menekankan pada mata rantai/silsilah sedangkan rawi adalah orang yang
terdapat dalam silsilah tersebut.
d.
Mukharrij
Mukharrij secara
bahasa adala orang yang mengeluarkan. Kaitannya dengan hadis, mukharrij adalah
orang yang telah menukil atau mencatat hadis pada kitabnya, seperti kitab
al-Bukhari.[10]
Memindahkan
hadis dari seorang guru kepada orang lain lalu membukukannya dalam kitab
disebut mukharrij. Oleh sebab itu, semua perawi hadis yang membukukan hadis
yang diriwayatkannya disebut mukharrij seperti para penyusun al-kutub al-tis’ah
(kitab sembilan).
Contoh:
خارىالب رواه = Hadis Riwayat Bukhari
(HR. Bukhari)
مسلم
رواه = Hadis Riwayat Muslin (HR. Muslim) [4]
C. Ijtihad
1.
Pengertian
Ijtihad
Secara
bahasa pengertian ijtihad berasal dari kata “jahada”. Kata ini beserta seluruh
Variannya menunjukkan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa, sulit
dilaksanakan, atau yang tidak disenangi.
Arti
ijtihad dalam artian jahada tedapat di dalam Al-Quran surat An-Nahl (16) ayat
38, surat An-Nur (24) ayat 53, dan surat Fathir (35) ayat 42. Semua kata itu
berasal dari pengerahan segala kemampuan dan kekuatan atau juga berlebihan
dalam bersumpah.
Pengertian
ijtihad secara istilah muncul pada masa tasyri’ dan masa sahabat. Perbedaan ini
meliputi hubungan ijtihad dengan fikih, ijtihad dengan Al-Quran, ijtihad dengan
As-Sunnah, dan ijtihad dengan Nash.
Menurut
Abu Zahrah secara istilah arti ijtihad ialah upaya seseorang ahli fikih dengan
kemampuannya dalam mewujudkan hukum-hukum amaliyahyang diambil dari dalil-dalil
yang rinci.
Menurut
Al-Midi yang dikutip oleh Wahbah al-Zuhaili bahwa ijtihad adalah pengerahan
segala kemampuan untukmenentukan sesuatu yang dzanni dari hukum-hukum syara.
2.
Dasar-dasar
Ijtihad
Adapun
yang menjadi dasar ijtihad adalah Al-Quran dan As-Sunnah. Diantara ayat yang
menjadi dasar ijtihad adalah surat An-Nissa ayat 105.
Adapun
Sunnah yang menjadi dasar ijtihad diantaranya hadits dari Amr bin Ash yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari , Muslim dan Ahmad yang menyebutkan bahwa Nabi
saw bersabda: “Apabila seorang Hakim menetapkan hukum dengan berijtihad
kemudian dia benar maka ia mendapat dua pahala, akan tetapi apabila itu salah
maka ia mendapat 1 pahala”.[5]
3.
Syarat Mujtahid
Sekurang-kurangnya
ada 8 persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid, yakni sebagai
berikut :
a.
Mengerti
dengan makna-makna yang dikandung oleh ayat-ayat hukum dalam Al Quran baik
secara bahasa maupun menurut istilah syariat. Tidak perlu menghapal di luar
kepala dan tidak perlu menghapal seluruh Al Quran. Seorang mujtahid cukup
mengetahui tempat-tempat dimana ayat-ayat hukum itu berada sehingga mudah
baginya menemukan pada waktu yang dibutuhkan.
b.
Mengetahui
tentang hadis-hadis hukum baik secara bahasa maupun dalam pemakaian syara’,
seperti telah diuraikan pada syarat pertama. Seperti halnya Al Qura, maka dalam
masalah hadis juga tidak mesti dihapal seluruh hadis yang berhubungan dengan
hukum, tetapi cukup adanya pengetahuan dimana hadis-hadis hukum yang dapat
dijangkau bilamana diperlukan.
c.
Mengetahui
tentang mana ayat atau hadis yang telah di mansukh (telah dinyatakan tidak
berlaku lagi oleh Allah atau Rasul-Nya), dan mana ayat atau hadis yang menasakh
aau sebagai penggantinya. Pengetahuan seperti ini diperlukan, agar seorang
mujtahid tidak mengambil kesimpulan dari ayat atau hadis yang sudah dinyatakan tidak
berlaku lagi.
d.
Mempunyai
pengetahuan tentang masalah-masalah yang sudah terjadi ijma’ tentang hukumnya
dan mengetahui tempat-tempatnya. Pengetahuan ini diperlukan agar seorang
mujtahid dalam ijtihadnya tidak menyalahi hukum yang telah disepakati para
ulama.
e.
Mengetahui
seluk beluk qiyas, seperti syarat-syaratnya, rukun-rukunnya tentang ‘illat
hukum dan cara menemukan ‘illat itu dari ayat atau hadis, dan mengetahui
kemaslahatan yang dikandung oleh suatu ayat hukum dan prinsip-prinsip umum
syari’at Islam.
f.
Menguasai
bahasa Arab dan ilmu-ilmu bantu yang berhubungan dengannya pengetahuan ini
dibutuhkan, mengingat Al Quran dan Sunnah adalah berbahasa Arab. Seseorang
tidak akan bisa mengistinbatkan hukum dari dua sumber tersebut tanpa mengetahui
seluk beluk bahasa Arab.
g.
Menguasai
ilmu ushul fiqh, seperti tentang hukum dan macam-macamnya, tentang
sumber-sumber hukum atau dalil-dalilnya, tentang kaidah-kaidah dan cara
mengistinbatkan hukum dari sumber-sumber tersebut, dan menguasai hal ihwal
tentang ijtihad. Pengetahuan tentang hal ini diperlukan karena ushul fiqh
merupakan pedoman yang harus dipegang dalam melakukan ijtihad.
h.
Mampu
menangkap tujuan ijtihad dalam merumuskan suatu hukum. Pengetahuan ini
dibutuhkan karena untuk memahami suatu redaksi dan dalam penerapannya kepada
berbagai peristiwa, ketetapannya sangat bergantung kepada pengetahuan tentang
bidang ini. Hal tersebut disebabkan penunjukan suatu lafal kepada maknanya
mengandung berbagai kemungkinan, dan pengetahuan tentang maqasid al-syari’ah
memberi petunjuk untuk memilih pengertiannya yang mana yang layak diangkat dan
difatwakan. Disamping itu, yang terpenting, dengan penguasaan bidang ini
prinsip-prinsip hukum dalam Al Quran dan Sunnah Rasulullah dapat dikembangkan
seperti dalam bentuk qiyas, istihsan dan maslahah al-mursalah[6]
Syaikh
‘Atha ibn Khalil di kitab beliau menyebutkan ada dua syarat yang harus dimiliki
oleh seseorang yang ingin berijtihad, yaitu:
a.
Menguasai ilmu bahasa (اللغة)
dan nahwu (النحو) yang cukup. Dengan ilmu tersebut,
seorang yang akan berijtihad mampu mengerti keadaan orang Arab dan kebiasaan
mereka dalam berkomunikasi. Sehingga ia mampu membedakan penunjukan-penunjukan
lafazh, seperti al-muthaabaqah (المطابقة), at-tadhmiin
(التضمين), al-iltizaam (الإلتزام), al-mufrad
(المفرد), al-murakkab (المركب), al-kulli
(الكلي), al-juz-i (الجزئي), al-haqiiqah
(الحقيقة), al-majaaz (المجاز), al-mutawaathi’
(المتواطئ), al-isytiraak (الإشتراك),
at-taraaduf (الترادف), at-tabaayun (التباين),
al-manthuuq (المنطوق) dan al-mafhuum (المفهوم).
b.
Mengetahui dan mengenal
sumber-sumber hukum syara’, bagian-bagiannya, berbagai metode untuk
menetapkannya dan macam-macam dilaalah-nya. Juga harus mengetahui
cara-cara men-tarjiih ketika terjadi pertentangan di antara dilaalah
dan harus mengetahui cara menggali hukum dari sumber-sumber tersebut. Juga
harus mengetahui asbaabun nuzuul, naasikh dan mansuukh,
muthlaq dan muqayyad serta bagian-bagian al-Kitab dan
as-Sunnah lainnya yang dibahas dalam kajian ushul fiqih.
Sebagian
‘ulama yang lain bahkan masih memberikan syarat-syarat tambahan yang harus
dimiliki oleh seseorang yang ingin berijtihad. Dari sini bisa kita simpulkan,
tidak sah ijtihad seseorang yang tak memiliki minimal dua syarat di atas.[7]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sumber
ajaran Islam ada tiga, yaitu Alqur’an, Hadits, dan Ijtihad. Alqur’an merupkan
sumber ajaran yang pertama. Fungsi Alqur’an:
1.
Al qur’an sebagai petunjuk (Al-Huda) bagi manusia
2.
Al qur’an sebagai sumber
informasi
3.
Alqur’an sebagai pembeda/pemisah (Al-Furqon)
antara yang hak dengan
4.
Al-Qur’an sebagai obat (Al-Syifa)
5.
Al-Qur’an berfungsi sebagai nasehat
(Al Mau’idzoh
Hadits merupakan
dasar bagi hukum-hukum islam, dan umat islam diperintahkan untuk mengikuti
Al-Hadits (As-Sunnah). Unsur-unsur Hadits adalah sanat, matan, rawi dan mukharrij.
Ijtihad
ijtihad ialah upaya seseorang ahli fikih dengan kemampuannya dalam mewujudkan
hukum-hukum amaliyahyang diambil dari dalil-dalil yang rinci. Orang yang
melakukan Ijtihad disebut Mujtahid. Seorang mujtihid harus memiliki beberapa
persyaratan untuk melakukan ijtihad.
B. Saran
Setelah
mempelajari sumber-sumber ajaran Islam, diharapkan tidak lagi terjadi salah
penafsiran terhadap semua sumber-sumber tersebut. Oleh karena itu, sudah
seharusnya kita memperdalam ilmu pengetahuan kita supaya kita mampu memahami ke
semua sumber-sumber ajaran Islam tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Alquranul Karim
Abu Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya,
Op.Cit, vol. III, hal. 76.