Selasa, 09 Oktober 2012

Sumber Ajaran Islam


BAB I
PENDAHULUAN




A.  Latar Belakang

Seiring dengan laju dinamika zaman, Islam telah menunjukkan perkembangan yang sangat pesat dalam berbagai aspek kehidupan terutama dalam bidang pengetahuan. Hukum-hukum Islam pun turut andil andil dalam perkembangan tersebut. Hal ini terlihat dari banyaknya masalah-masalah kontemporer yang banyak mencuat.
Al-Qur’an sebagai sumber utama hukum Islam tidak berdiri sendiri dalam memecahkan persoalan-persoalan kehidupan. Al-Sunnah dan Ijtihad adalah rujukan yang siap menyokong Al-Qur’an dalam menentukan hukum. Kedudukan Al-Sunnah dan Ijtihad adalah berada di bawah Al-Qur’an dalam tugasnya sebagai acuan rujukan hukum.
Kita menyadari bahwa dalam beberapa abad ini ilmu pengetahuan Islam dapat di katakan lebih bersifat mekanis dan semantik daripada interpretatif atau ilmiah maka betapapun kecil bersahajanya perjuangan kita adalah untuk mencairkan kebekuan di dalam dunia pemikiran Islam baik religius maupun moral.

B.  Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penulisan ini adalah:
1.      Apakah Fungsi Alqur’an ?
2.      Apakah fungsi hadits dan unsur-unsur Hadits ?
3.      Apa pengertian Ijtihad ?
4.      Apakah dasar-dasr Ijtihad serta syarat Mujtahid ?


C.  Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah:
1.      Mempelajari sumber-sumber ajaran Islam
2.      Mningkatkan kemampuan penulisan karya Ilmiah
3.      Sebagai salah satu syarat kelulusan mata kuliah Agama III









BAB II
PEMBAHASAN





A.  Alqur’an

1.      Fungsi Alqur’an
 Alqur’an diturunkan oleh Allah swt merupakan adalah untuk kepentingan  manusia , membimbing manusia ke jalanyang lurus ,  yang benar dan jalan yg diberkahi bukan jalan orang yang dimurkai.Alqur’an sebagai pedoman hidup bagi manusia agar manusia mau menjalani hidup ini dengan aturan -aturan yang diberikan Allah bukan aturan – aturan yang dibuat berdasarkan hawa nafsu manusia. Allah berfirman dalam surat Ibrahim ayat 1 dan  surat Al Baqarah ayat 185  . yang dapat diambil kesimpulan bahwa fungsi Al qur’an adalah sebagai berikut ;
a.       Al qur’an sebagai petunjuk (Al-Huda) bagi manusia ; maksudnya menjadi bimbingan dan pimpinan pada  umat manusia degan jalan memberi kecerdasan dan ilmu pengetahuan , mencari kebenaran . Dan dengan ilmu pengetahuan itu kita dapat mencari kebenaran.
b.      Al qur’an sebagai sumber  informasi yang jelas   ; maksudnya memberikan informasi – informasi , keterangan – keterangan , dalil -dalil , penjelasan secara terperenci tentang makna bimbingan itu . Diantaranya batas – batas yang ditentukan oleh Allah , kewajiban yang diperintahkan oleh Allah , kisah – kisah yang terjadi pada masa lampau supaya kita dapat mengambil informasi yang kebenarannya mutlak atau tidak diragukan lagi.[1]
c.       Alqur’an sebagai pembeda/pemisah (Al-Furqon) antara yang hak dengan bathil ; maksudnya sebagai pembeda yang benar dengan yang salah. Allah berfirman, “Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al-Qur’an yang berfungsi sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil) … (QS Al-Baqaroh [2] : 185).
d.      Al-Qur’an dikatakan bahwa ia berfungsi sebagai obat (Al-Syifa) bagi penyakit yang ada di dalam dada (mungkin yang dimaksud disini adalah penyakit psikologis). Allah berfiman, “Hai manusia sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh dari penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada…”(QS Yunus [10] : 57).
e.       Dalam Al-Qur’an dikatakan bahwa ia berfungsi sebagai nasehat (Al Mau’idzoh) bagi orang-orang bertaqwa. Allah berfirman, “Al-Qur’an ini adalah penerangan bagi seluruh manusia dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang bertaqwa” (QS Ali-Imron [3]: 138)[2]
Yang harui kita pahami , bahwa Al qur’an bukan hanya surat Yasin saja , tetapi Al qur’an itu terdiri dar 6236 ayat , 114 surat dan 30 Juz.Tidak ada tuntunan kita untuk hanya mempelajari atau membaca surat yasin saja, tetapi bacalah Al qur;an secara keseluruhan.


2.      Alqur’an sebagai Firman Allah
Alquran adalah firman Allah, dan yang demikian merupakan sifat abadi abadi dari Dzat Allah. Karena umat manusia tidak mampu sepenuhnya memahami sifat-sifat Allah, bagaimana mungkin bagi mereka memahami makna Alqur’an. Hujjatul Islam al-Imam Ghazaly r.a (505/1111) membahas persoalan ini dalam Kitab Adab Tilawah al-Qur-an (aturan untuk pembacaan Alquran, delapan kitab dari jilid pertama Ihya’ ‘Ulum adDiin.
Seorang pembaca AlQur’an hendaknya memikirkan bagaimana Allah menunjukan kebaikan kepada terhadap umat manusia dalam menyampaikan kepada pemahaman mereka makna makna firman-Nya, yang merupakat sifat abadi yang bersemayam dalam Dzat-Nya. Seorang pembaca AlQur’an juga hendakna memikirkan bagaimana sifat itu diungkapkan kepada umat manusia di bawah selimut huruf dan sura yang merupakan sifat manusia, karena umat manusia tidak mampu sampai kepada pemahaman sifat sifat Allah kecuali melalui sifat sifat mereka sendiri. Jika dzat (kunhi) kemahakuasaan firman-Nya tidak disembunyikan di bawah jubah huruf, tiada tahta ataupun tanah masih bisa berdiri tegak ketika mendengar firman-Nya, dan semua yang berada di antara keduanya akan tereduksi menjadi hampa karena kebesaran otoritas-Nya dan kemahakuasaan cahaya-Nya Jika Allah belum menguatkan nabi Musa, dia tidak akan mampu bertahan menahan permulaan perwujudan-Nya, sehingga menjadi rata dengan tanah. Sungguh mustahil untuk membuat kebesaran firman-Nya yang tidak mampu dipahami umat manusia kecuali melalui contoh contoh pada tingkat pemahaman mereka.
Hal penting yang perlu di ingat adalah Alqur’an ini tidak ada keraguan di dalamnya, seperti Firman Allah:



“Kitab (Alqur’an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”[3]


B.  Hadits

1.      Posisi dan Fungsi Hadits

Ahli naql dan ahli ‘aql dalam islam telah berijma’ bahwa al-hadits (as-sunnah) dasar bagi hukum-hukum islam, dan umat islam diperintahkan untuk mengikuti al-hadits (as-sunnah).
Banyak sekali ayat-ayat Al-Quran yang memberikan pengertian untuk As-sunnah (Al-Hadits), diantaranya surat Al-Hasyr Ayat 7 yang artinya: ”Dan apa yang didatangkan Rasul, ambil olehmu dan apa yang dilarang Rasul bagimu, hentikanlah....”.
Di samping itu Rasulullah saw pun menegaskan dalam sabdanya: “Telah aku tinggalkan dua pusaka bagi kamu sekalian yang kamu tidak akan tersesat selamanya jika kamu berpegang teguh kepada keduanya, kitab Allah dan Sunnahku”.
Posisi Hadits adalah sumber hukum kedua setelah Firman Allah SWT (Alqur’an).

2.      Unsur-unsur Hadits

Unsur-unsur hadits adalah sebagai berikut:
a.  Sanad
Secara bahasa, sanad berasal dari kata سند yang berarti انضمام الشيئ الى الشيئ (penggabungan sesuatu ke sesuatu yang lain)[1], karena di dalamnya tersusun banyak nama yang tergabung dalam satu rentetan jalan. Bisa juga berarti المعتمد (pegangan). Dinamakan demikian karena hadis merupakan sesuatu yang menjadi sandaran dan pegangan[2].
Sementara termenologi, sanad adalah jalan yang dapat menghubungkan matan hadis sampai kepada Nabi Muhammad saw. Dengan kata lain, sanad adalah rentetan perawi-perawi (beberapa orang) yang sampai kepada matan hadis.[3]
Berikut adalah contoh sanad:
“Al-Humaidi> ibn al-Zubair telah menceritakan kepada kami seraya berkata Sufya>n telah mmenceritakan kepada kami seraya berkata Yahya> ibn Sa’i>d al-Ans}a>ri> telah menceritakan kepada kami seraya berkata Muhammad ibn Ibra>hi>m al-Taimi telah memberitakan kepada saya bahwa dia mendengar ‘Alqamah ibn Waqqa>s{ al-Lais|i> berkata “saya mendengar Umar ibn al-Khat}t}a>b ra berkata di atas mimbar “Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda…

b.    Matan
Matan, berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari huruf ن ت م- - Matan memiliki makna “punggung jalan” atau bagian tanah yang keras dan menonjol ke atas.[4] Apabila dirangkai menjadi kalimat matan al-hads maka defenisinya adalah: “Kata-kata hadis yang dengannya terbentuk makna-makna”.
Adapun matan hadis itu terdiri dari dua elemen yaitu teks atau lafal dan makna (konsep), sehingga unsur-unsur yang harus dipenuhi oleh suatu matan hadis yang sahih yaitu terhindar dari sya>z| dan ’illat.
Contohnya:
“Amal-amal perbuatan itu hanya tergantung niatnya dan setipa orang akan mendapatkan apa yang dia niatkan. Barangsiapa yang hijrah karena untuk mendapatkan dunia atau karena perempuan yang akan dinikahinya maka hijrahnya (akan mendapatkan) sesuai dengan tujuan hijrahnya…

c.    Rawi
Kata perawi atau al-ra>wi> dalam bahasa Arab dari kata riwayat yang berarti memindahkan atau menukilkan, yakni memindahkan suatu berita dari seseoarang kepada orang lain.[7] Dalam istilah hadis, al-ra>wi> adalah orang yang meriwayatkan hadis dari seorang guru kepada orang lain yang tercantum dalam buku hadis.[8] Jadi, nama-nama yang terdapat dalam sanad disebut rawi.
Sebenarnya antara rawi dan sanad merupakan dua istilah yang tidak dapat dipisahkan karena sanad hadis pada setiap generasi terdiri dari beberapa perawi.[9] Singkatnya sanad itu lebih menekankan pada mata rantai/silsilah sedangkan rawi adalah orang yang terdapat dalam silsilah tersebut.

d.   Mukharrij

Mukharrij secara bahasa adala orang yang mengeluarkan. Kaitannya dengan hadis, mukharrij adalah orang yang telah menukil atau mencatat hadis pada kitabnya, seperti kitab al-Bukhari.[10]
Memindahkan hadis dari seorang guru kepada orang lain lalu membukukannya dalam kitab disebut mukharrij. Oleh sebab itu, semua perawi hadis yang membukukan hadis yang diriwayatkannya disebut mukharrij seperti para penyusun al-kutub al-tis’ah (kitab sembilan).


            Contoh:    
خارىالب رواه = Hadis Riwayat Bukhari (HR. Bukhari)
مسلم رواه = Hadis Riwayat Muslin (HR. Muslim) [4]


C.  Ijtihad

1.      Pengertian Ijtihad
Secara bahasa pengertian ijtihad berasal dari kata “jahada”. Kata ini beserta seluruh Variannya menunjukkan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa, sulit dilaksanakan, atau yang tidak disenangi.
Arti ijtihad dalam artian jahada tedapat di dalam Al-Quran surat An-Nahl (16) ayat 38, surat An-Nur (24) ayat 53, dan surat Fathir (35) ayat 42. Semua kata itu berasal dari pengerahan segala kemampuan dan kekuatan atau juga berlebihan dalam bersumpah.
Pengertian ijtihad secara istilah muncul pada masa tasyri’ dan masa sahabat. Perbedaan ini meliputi hubungan ijtihad dengan fikih, ijtihad dengan Al-Quran, ijtihad dengan As-Sunnah, dan ijtihad dengan Nash.
Menurut Abu Zahrah secara istilah arti ijtihad ialah upaya seseorang ahli fikih dengan kemampuannya dalam mewujudkan hukum-hukum amaliyahyang diambil dari dalil-dalil yang rinci.
Menurut Al-Midi yang dikutip oleh Wahbah al-Zuhaili bahwa ijtihad adalah pengerahan segala kemampuan untukmenentukan sesuatu yang dzanni dari hukum-hukum syara.
2.      Dasar-dasar Ijtihad
Adapun yang menjadi dasar ijtihad adalah Al-Quran dan As-Sunnah. Diantara ayat yang menjadi dasar ijtihad adalah surat An-Nissa ayat 105.
Adapun Sunnah yang menjadi dasar ijtihad diantaranya hadits dari Amr bin Ash yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari , Muslim dan Ahmad yang menyebutkan bahwa Nabi saw bersabda: “Apabila seorang Hakim menetapkan hukum dengan berijtihad kemudian dia benar maka ia mendapat dua pahala, akan tetapi apabila itu salah maka ia mendapat 1 pahala”.[5]
3.       Syarat Mujtahid
Sekurang-kurangnya ada 8 persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid, yakni sebagai berikut :
a.    Mengerti dengan makna-makna yang dikandung oleh ayat-ayat hukum dalam Al Quran baik secara bahasa maupun menurut istilah syariat. Tidak perlu menghapal di luar kepala dan tidak perlu menghapal seluruh Al Quran. Seorang mujtahid cukup mengetahui tempat-tempat dimana ayat-ayat hukum itu berada sehingga mudah baginya menemukan pada waktu yang dibutuhkan.
b.    Mengetahui tentang hadis-hadis hukum baik secara bahasa maupun dalam pemakaian syara’, seperti telah diuraikan pada syarat pertama. Seperti halnya Al Qura, maka dalam masalah hadis juga tidak mesti dihapal seluruh hadis yang berhubungan dengan hukum, tetapi cukup adanya pengetahuan dimana hadis-hadis hukum yang dapat dijangkau bilamana diperlukan.
c.    Mengetahui tentang mana ayat atau hadis yang telah di mansukh (telah dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Allah atau Rasul-Nya), dan mana ayat atau hadis yang menasakh aau sebagai penggantinya. Pengetahuan seperti ini diperlukan, agar seorang mujtahid tidak mengambil kesimpulan dari ayat atau hadis yang sudah dinyatakan tidak berlaku lagi.
d.   Mempunyai pengetahuan tentang masalah-masalah yang sudah terjadi ijma’ tentang hukumnya dan mengetahui tempat-tempatnya. Pengetahuan ini diperlukan agar seorang mujtahid dalam ijtihadnya tidak menyalahi hukum yang telah disepakati para ulama.
e.    Mengetahui seluk beluk qiyas, seperti syarat-syaratnya, rukun-rukunnya tentang ‘illat hukum dan cara menemukan ‘illat itu dari ayat atau hadis, dan mengetahui kemaslahatan yang dikandung oleh suatu ayat hukum dan prinsip-prinsip umum syari’at Islam.
f.     Menguasai bahasa Arab dan ilmu-ilmu bantu yang berhubungan dengannya pengetahuan ini dibutuhkan, mengingat Al Quran dan Sunnah adalah berbahasa Arab. Seseorang tidak akan bisa mengistinbatkan hukum dari dua sumber tersebut tanpa mengetahui seluk beluk bahasa Arab.
g.    Menguasai ilmu ushul fiqh, seperti tentang hukum dan macam-macamnya, tentang sumber-sumber hukum atau dalil-dalilnya, tentang kaidah-kaidah dan cara mengistinbatkan hukum dari sumber-sumber tersebut, dan menguasai hal ihwal tentang ijtihad. Pengetahuan tentang hal ini diperlukan karena ushul fiqh merupakan pedoman yang harus dipegang dalam melakukan ijtihad.
h.    Mampu menangkap tujuan ijtihad dalam merumuskan suatu hukum. Pengetahuan ini dibutuhkan karena untuk memahami suatu redaksi dan dalam penerapannya kepada berbagai peristiwa, ketetapannya sangat bergantung kepada pengetahuan tentang bidang ini. Hal tersebut disebabkan penunjukan suatu lafal kepada maknanya mengandung berbagai kemungkinan, dan pengetahuan tentang maqasid al-syari’ah memberi petunjuk untuk memilih pengertiannya yang mana yang layak diangkat dan difatwakan. Disamping itu, yang terpenting, dengan penguasaan bidang ini prinsip-prinsip hukum dalam Al Quran dan Sunnah Rasulullah dapat dikembangkan seperti dalam bentuk qiyas, istihsan dan maslahah al-mursalah[6]       
Syaikh ‘Atha ibn Khalil di kitab beliau menyebutkan ada dua syarat yang harus dimiliki oleh seseorang yang ingin berijtihad, yaitu:
a.    Menguasai ilmu bahasa (اللغة) dan nahwu (النحو) yang cukup. Dengan ilmu tersebut, seorang yang akan berijtihad mampu mengerti keadaan orang Arab dan kebiasaan mereka dalam berkomunikasi. Sehingga ia mampu membedakan penunjukan-penunjukan lafazh, seperti al-muthaabaqah (المطابقة), at-tadhmiin (التضمين), al-iltizaam (الإلتزام), al-mufrad (المفرد), al-murakkab (المركب), al-kulli (الكلي), al-juz-i (الجزئي), al-haqiiqah (الحقيقة), al-majaaz (المجاز), al-mutawaathi’ (المتواطئ), al-isytiraak (الإشتراك), at-taraaduf (الترادف), at-tabaayun (التباين), al-manthuuq (المنطوق) dan al-mafhuum (المفهوم).
b.    Mengetahui dan mengenal sumber-sumber hukum syara’, bagian-bagiannya, berbagai metode untuk menetapkannya dan macam-macam dilaalah-nya. Juga harus mengetahui cara-cara men-tarjiih ketika terjadi pertentangan di antara dilaalah dan harus mengetahui cara menggali hukum dari sumber-sumber tersebut. Juga harus mengetahui asbaabun nuzuul, naasikh dan mansuukh, muthlaq dan muqayyad serta bagian-bagian al-Kitab dan as-Sunnah lainnya yang dibahas dalam kajian ushul fiqih.
Sebagian ‘ulama yang lain bahkan masih memberikan syarat-syarat tambahan yang harus dimiliki oleh seseorang yang ingin berijtihad. Dari sini bisa kita simpulkan, tidak sah ijtihad seseorang yang tak memiliki minimal dua syarat di atas.[7]












BAB III
PENUTUP



A.  Kesimpulan
Sumber ajaran Islam ada tiga, yaitu Alqur’an, Hadits, dan Ijtihad. Alqur’an merupkan sumber ajaran yang pertama. Fungsi Alqur’an:
1.    Al qur’an sebagai petunjuk (Al-Huda) bagi manusia
2.    Al qur’an sebagai sumber  informasi
3.    Alqur’an sebagai pembeda/pemisah (Al-Furqon) antara yang hak dengan
4.    Al-Qur’an sebagai obat (Al-Syifa)
5.    Al-Qur’an berfungsi sebagai nasehat (Al Mau’idzoh
Hadits merupakan dasar bagi hukum-hukum islam, dan umat islam diperintahkan untuk mengikuti Al-Hadits (As-Sunnah). Unsur-unsur Hadits adalah sanat, matan, rawi dan  mukharrij.
Ijtihad ijtihad ialah upaya seseorang ahli fikih dengan kemampuannya dalam mewujudkan hukum-hukum amaliyahyang diambil dari dalil-dalil yang rinci. Orang yang melakukan Ijtihad disebut Mujtahid. Seorang mujtihid harus memiliki beberapa persyaratan untuk melakukan ijtihad.

B.  Saran
Setelah mempelajari sumber-sumber ajaran Islam, diharapkan tidak lagi terjadi salah penafsiran terhadap semua sumber-sumber tersebut. Oleh karena itu, sudah seharusnya kita memperdalam ilmu pengetahuan kita supaya kita mampu memahami ke semua sumber-sumber ajaran Islam tersebut.



















DAFTAR PUSTAKA


Alquranul Karim
Abu Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya, Op.Cit,  vol. III, hal. 76.